Senin, 24 November 2008

LOWONGNYA WAKIL BUPATI DI BELITUNG TIMUR

Oleh : KOKO HARYANTO, A.MD.S.IP

Pengisian kekosongan Wakil Bupati Beltim hingga saat ini belum juga ada realisasi yang kongkrit. Masalah ini seakan sudah berhenti di tengah jalan tidak terdengar lagi tindak lanjutnya. Suara wakil rakyat juga sudah nyaris tak terdengar di telinga public. Belum ada penjelasan yang bisa mengobati tanda tanya masyarakat Beltim terhadap kekosongan jabatan tersebut.
Sejak diambilnya hak interpelasi oleh anggota DPRD Beltim pada bulan Juli 2008, masalah ini terus mengendap dan belum menemukan formulasi sekaligus solusi untuk menyelesaikan kemelut tersebut. Semestinya sudah ada titik terang yang didapat dari interpelasi tersebut, bila tidak ada manfaat maka interpelasi menjadi seremonial belaka dan sia-sia. Kekuatan wakil rakyat sudah semestinya terlihat dalam kemelut ini bila sikap ini ditujukan untuk membela kepentingan masyarakat Beltim.
Jawaban Bupati Beltim dalam menanggapi permasalahan ini tertuang dalam pidato pada Rapat Paripurna X Masa Persidangan III Tahun 2008. Dalam sambutannya Bupati Beltim mengatakan bahwa masalah tersendatnya proses pengisian jabatan Wakil Bupati tidak ada tendensi pribadi karena bupati telah menyampaikan surat kepada Gabungan Partai (PIB dan PNBK) sebagai pemenang Pilkada untuk mengajukan 1 calon wakil Bupati kepada Bupati untuk kemudian akan disampaikan oleh Bupati kepada DPRD untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
Namun realisasi yang tertuang dalam surat dari Partai PIB kepada Bupati Beltim melalui surat nomor : 002/DPC-PIB/VII/2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang prihal Pengajuan Calon Wakil Bupati Belitung Timur masih belum ada hasilnya. Semestinya Bupati mengakomodir surat ini sebagai pintu masuk untuk mengisi kekosongan wakil bupati, bukan kemudian melayangkan surat kembali untuk meminta PIB dan PNBK mangajukan secara bersama. Balasan surat bupati sangat bernuansa politik, karena dirinya berasal dari PNBK. Jika saja bupati memperhatikan aspek keadilan, politik maka sudah selayaknya Partai PIB mengajukan calon tanpa PNBK oleh karena Bupati yang terpilih melalui pemilihan rakyat sebelumnya, Basuki T. Purnama berasal dari Partai PIB. Sedangkan jabatan bupati yang dipegang oleh Khairul Efendi bukanlah bupati pilihan rakyat Beltim.
Alasan Bupati Beltim terhadap Parpol pengusung yang tidak lagi eksis sangat mengada-ada dan terlalu didramatisir. Bila demikian, maka bupati tidak bisa mengatasnamakan dirinya wakil Parpol PNBK oleh karena eksistensi administrative PNBK yang mengusung dirinya untuk menjadi Wakil Bupati masih diragukan oleh dirinya sendiri. Padahal sangat jelas secara hukum bahwa PNBK yang sekarang masih memiliki hubungan dengan PNBK yang mengusung dirinya menjadi Wakil Bupati sekaligus Bupati pilihan DPRD Beltim atas tuntutan UU.
“Jangan meninggalkan tanggungjawab politik atas kekosongan wakil Bupati dengan alasan yang kurang bisa diterima public. Pengajuan Wabup jangan didramatisir dan dicari celah-celah untuk penguluran waktu seperti meminta fatwa mengenai keberadaan PNBK ke Depkumham yang sudah dilakukan oleh Bupati Beltim. Namun, waktu terus berlalu pemberian kelonggaran waktu tersebut menjadi sia-sia oleh karena tidak ada substansi yang sesungguhnya dipahami. Begitu juga anggota DPRD Beltim juga sudah melakukan studi banding ke Phak-Phak Barat. Jadi, bukan lagi dalam persoalan prosedur hukum, namun tidak ada political will dari seorang Bupati. Di sisi lain berlarut-larutnya masalah ini oleh karena kurang tegasnya sikap DPRD dalam menyelesaikan kemelut ini.
Solusi kemudian yang bisa diambil oleh DPRD Beltim adalah memperkarakan ini dengan mengambil Hak Angket (Hak Penyelidikan). Dengan mengambil hak ini merupakan sebuah progress yang tepat sebagai tindak lanjut dari hak interpelasi yang sudah pernah diambil. Jika ditemukan hal-hal yang melanggar maka DPRD harus memperkarakan hal ini, karena sudah menyangkut hak dan kewajiban Bupati selaku kepala pemerintah daerah, dimana ia tidak menjalankan perintah Undang-Undang.
Bila proses pengisian ini ingin segera dilaksanakan tanpa melanggar UU maka DPRD segera memproses dan menekan Bupati Beltim untuk menyampaikan kepada DPRD menyangkut satu calon yang diajukan oleh PIB beberapa waktu lalu, tanpa menunggu calon lain yang ‘diharapkan’ muncul oleh Bupati. DPRD sudah sepantasnya menyelesaikan segera masalah ini oleh karena sudah tidak lama lagi periode wakil rakyat tahun 2004 segera berakhir. Jangan sampai masalah ini selesai sampai ada wakil rakyat yang baru sebagai hasil dari pemilihan umum legislative 2009. “Jangan meninggalkan pekerjaan rumah karena hal itu akan semakin merendahkan kinerja wakil rakyat 2004 yang tidak berhasil mengisi kekosongan Wakil Bupati Beltim”. Pekerjaan wakil rakyat 2009 sudah tidak relevan lagi bila hanya berkutat pada proses pengisian wakil Bupati. Masih banyak pekerjaan yang lain untuk memacu pertumbuhan dan kemajuan daerah ini di masa yang akan datang untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Beltim.

PENYELUDUPAN TIMAH DI BURUNG MANDI

Oleh : KOKO HARYANTO, A.MD, S.IP

Kasus penemuan sesosok mayat tanpa kepala beberapa waktu lalu mulai menimbulkan persoalan baru di tengah masyarakat Burung Mandi. Sejak ditemukan hingga proses pemakaman yang terbilang cepat, masyarakat Burung Mandi mulai bertanya-tanya, apalagi akhir-akhir ini masyarakat digemparkan oleh isu sosok tanpa kepala gentayangan.
Menurut Koko Haryanto, S.IP selaku warga masyarakat Burung Mandi, Dalam proses penemuan mayat yang dilaporkan oleh beberapa warga kepada aparat dusun dan tokoh masyarakat Burung Mandi sungguh menimbulkan keanehan. Oleh karena mayat yang dimaksud oleh para pelapor sudah berada diatas mobil. “ada upaya pemutarbalikkan fakta dan alibi masyarakat pada saat itu, terutama mengenai sebab musabab kematian yang dirasa tidaklah lazim”. Dalam hal ini sudah tepat bila aparat yang berwenang mengungkap kasus ini lebih jauh dengan mendengarkan dan menganalisa beberapa kejanggalan untuk memasuki tahap menyelidikan.
“Kasus ini jangan dihentikan begitu saja, apalagi pemberitaan mengenai hasil visum juga belum menjelaskan apa sebab kematian tersebut. “ bila hasil visum mengatakan kematian tersebut bukan tindakan pidana, lalu apa penyebabnya yang membuat jasad tersebut terpotong-potong,”tidaklah mudah untuk melepaskan kepala dengan badan begitu saja bila tanpa ada hal lain yang membuat itu menjadi terlepas, seperti dimakan hiu, terbentur karang,kalau memang kapal tersebut pecah ditengah laut. Para nelayan Burung mandi juga tidak mempercayai bila ini merupakan korban dari ombak besar yang membuat kapal pecah, oleh karena cuaca pada malam itu dalam keadaan baik. Ditambah lagi wilayah perairan Burung Mandi belum pernah ditemukan ikan buas yang memakan tubuh manusia
Koko yang juga pengamat politik local ini menjelaskan bahwa Sejauh ini, pihak rumah sakit tidak menjelaskan lebih jauh, sebab musabab kematian, tiba-tiba mayat sudah dikebumikan di Desa Pancur. Padahal belum ada kejelasan dan penyelidikan lebih lanjut dari proses penemuan mayat tersebut.”aparat harus menyelidiki sesuatu dari asumsi masyarakat yang melihat masalah ini tidak tepat bila dikatakan sebagai kasus kecelakaan di laut”.
Kasus ini mulai terkuat dan menemukan titik koordinat bagaimana peristiwa itu terjadi, oleh karena ada kasus lain yang mengikutinya setelah peristiwa itu terjadi. Kasus lain tersebut yaitu dugaan penyeludupan pasir timah yang juga berada pada tempat yang sama dengan kejadian penemuan mayat, “apalagi mayat diangkut dengan mobil yang sama dengan mobil yang dipakai oleh para pelaku penyeludupan”. Disinilah kita melihat pertaruhan citra aparat kepolisian untuk mengungkap kasus tersebut sampai tuntas.
Aparat kepolisian sudah sepantasnya memberikan reward kepada masyarakat yang telah berhasil mengungkap penyeludupan pasir timah tersebut. “tidak ada alas an lain yang bisa dipakai oleh aparat kepolisian, terutama kapolres untuk mengatakan ini bukan penyeludupan. Oleh karena dari soal tempat dan waktu saja sudah tidak tepat, bila ada surat izin mengapa mesti diangkut malam-malam dan di tempat yang bukan pelabuahan resmi, seperti pengiriman timah antar pulau yang beberapa waktu dikirim melalui pelabuhan Manggar secara legal. “jangan sampai mencari seribu alasan untuk membela pihak-pihak yang bersalah, ini sangat berbahaya bagi supremasi hukum di daerah ini, apalagi sekarang lagi gencar-gencarnya penanganan kasus penyeludupan yang dilakukan oleh Kapolda dan Kapolri. Sikap kepolisisn di daerah juga harus sejalan dengan komitmen kapolda Babel dan Kapolri untuk menangkal segala macam penyimpangan yang berkaitan dengan perdagangan timah. “ jangankah kasus seperti ini, pengiriman melalui Permendag 19/2007 saja masih dipersoalkan oleh Gubernur, Eko Maulana Ali, apalagi pengangkutan timah melalui pelabuhan yang tidak resmi seperti ini”.
Alasan bila para pelaku memegang izin pengangkutan timah antar gudang, maka ini tidaklah beralasan, karena di wilayah Burung Mandi belum ditemukan gudang penyimpanan pasir timah, “bila alasannya kemalaman mengapa mesti nginap di tengah-tengah hutan, kan katanya ada izin? Warga siap saja menerima bila timah itu ingin disimpan sementara di Burung Mandi, jika ada surat izin yang resmi dari pejabat yang berwenang”. Keanehan demi keanehan yang muncul dari kedua kasus yang saling berkaitan ini, paling tidak telah membuka jalan bagi aparat yang berwenang untuk melakukan penyelidikan lebih jauh. “Bila ini untuk kebaikan kita bersama agar masalah ini ada ujung pangkalnya, masyarakat siap memberikan kesaksian, namun mesti dilakukan secara adil, transparan, jujur dan berlandaskan koridor hukum yang menjunjung tinggi kebenaran, jangan sampai masyarakat yang kena dampak buruknya”.
Masyarakat mengharapkan aparat bekerja seserius mungkin, bila tidak ingin masalah ini terulang lagi di Dusun Burung Mandi atau daerah lainnya yang selama ini aman dan kondusif. Sekarang ini masyarakat menjadi kuatir dengan kedua kasus ini yang terkesan dibiarkan dan tidak diusut dengan koridor hukum yang semestinya. “jangan sampai nanti masyarakat jadi apatis terhadap ketertiban dan keamanan di daerahnya serta tidak akan melaporkan bila ada kejanggalan yang terjadi, tentu ini sangat berbahaya. Apalagi masyarakat adalah mitra polisi untuk memberantas segala macam tindak kriminalitas yang terjadi di lingkungannya. “Semoga masalah ini akan terus diusut secara tuntas”

KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN NASIONAL
SEBUAH SOLUSI MASA DEPAN BANGSA
Oleh : KOKO HARYANTO. S.IP
Sebuah bangsa akan kuat bila kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi secara adil dan merata. Ketersediaan pangan menjadi hal yang paling mendasar yang harus diwujudkan. Setiap hari kita membutuhkan makan dan minum untuk keberlangsungan hidup dan menunjang aktivitas agar lebih berkualitas. Masyarakat tentunya sangat membutuhkan adanya jaminan dari Negara untuk mendapatkan kebutuhan pangan yang mudah dan murah. Apalagi wilayah Negara ini merupakan wilayah berbasis agraris bila dilihat dari ketersediaan lahan yang cukup potensial untuk pengembangan produk pangan nasional.
Sejak reformasi digulirkan oleh barisan mahasiswa, tuntutan akan perlunya ketahanan pangan nasional semakin menguat, dalam 7 butir tuntutan rakyar, mahasiswa meminta untuk segera melakukan pembenahan terhadap masalah ketahanan pangan nasional. Tuntutan itu tentu saja sangat beralasan karena kebutuhan akan pangan dunia semakin tinggi sedangkan jumlah produksinya semakin menurun. Pertumbuhan penduduk yang tinggi telah membuat kondisi pangan dunia semakin kritis. Negara dalam hal ini harus segera membenahi regulasi pangan nasional, menciptakan lahan-lahan produktif untuk meningkatkan hasil pangan nasional.
Pada era tahun 80-an ketika Soeharto masih berada di tapuk kekuasaan, bangsa Indonesia pernah mengalami peningkatan produksi pangan yang cukup siknifikan hingga tercapai swasembada pangan. Produk-produk pangan dunia yang biasa diimpor menjadi dihentikan oleh karena ketersediaan bahan kebutuhan pokok seperti beras meningkat drastis. Cadangan pangan nasional meningkat lebih dari 3 kali lipat, dan dapat memenuhi kebutuhan untuk beberapa tahun mendatang. Tentunya pengalaman di era kepemiumpinan Soeharto harus direalisasikan oleh pemerintah saat ini. Jika hal ini tidak dilakukan maka akan terjadi krisis pangan yang akan berdampak pada kehidupan masyarakat. jumlah angka kemiskinan, kelaparan, dan wabah penyakit akan semakin meningkat bila masalah pangan semakin sulit diatasi. Tentunya hal ini bukan sebuah asumsi belaka, ini merupakan sebuah realitas kita bersama.
Pemerintah dengan berbagai macam strategi pangan yang dijalankan harus betul-betul berfokus pada meningkatan lahan-lahan pertanian dan perkebunan untuk menghindari gejolah pangan dunia yang semakin memprihatinkan. Adalah hal yang sangat urgent karena kondisi iklim dunia saat ini sudah tidak stabil oleh karena telah terjadi pemanasan global yang berpengaruh terhadap hasil panen dari sector pertanian. Curah hujan sudah tidak teratur lagi dan sulit diprediksi oleh BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika). Tentunya ini sangat berbahaya bagi masa depan pangan nasional. Pemerintah dengan berbagai lembaga risetnya harus menemukan solusi untuk menciptakan teknologi baru yang mampu menanggulagi keadaan iklim yang sudah tidak menentu. Tanaman pangan yang diproduksi harus tanaman yang cepat menghasilkan, berkualitas dan tahan hama penyakit.
Dengan memfokuskan diri dalam menciptakan ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan maka bangsa ini telah menyelamatkan jutaan anak bangsa yang masih banyak yang kekuarangan kebutuhan akan pangan. Pemerintah dengan segala upaya untuk melakukan pemetaan wilayah yang bisa dijadikan basis-basis ketahanan pangan nasional secara tepat. Daerah-daerah yang subur di seluruh Indonesia harus dijadikan lahan pangan dan jangan dijadikan tempat berdirinya bangunan-bangunan yang tidak banyak mendatangkan manfaat bagi masa depan dan keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Semoga tuntutan mahasiswa akan katahanan pangan dapat betul-betul disikapi secara adil dan bijaksana.

PILKADA DAN KEDEWASAAN BERPOLITIK

PILKADA DAN KEDEWASAAN BERPOLITIK
Oleh : Koko Haryanto, S.IP
(Alumni Fakultas Ilmu Politik Universitas Indonesia)

Pemilihan kepala daerah di Kabupaten Belitung merupakan pilkada pertama yang akan memberikan pembelajaran politik bagi segenap elit yang bertarung dan masyarakat yang memilih. Kedewasaan dalam menentukan strategi pemenangan yang sehat terkadang tergadaikan oleh ambisi untuk meraih kekuasaan. Padahal pilkada adalah sebuah proses untuk memberikan pendidikan politik yang bersih bagi masyarakat oleh karena partisipasi pemilih diibaratkan seperti “tangan tuhan” yang memiliki peranan penting dalam menentukan sebuah kemenangan.
Etika Kampanye
Menang kalah dalam sebuah pertarungan adalah hal yang sudah biasa. Namun dalam proses pencapaian kemenangan itu sering bermasalah ketika etika, norma dan moral sudah tidak dikedepankan lagi. Hujatan, hasutan dan fitnah dan kampanye hitam lainnya yang bertebaran di masyarakat seakan telah banyak mewarnai pilkada di Belitung kali ini. Tentu dalam politik segala macam cara bisa dilakukan demi mencapai sebuah tujuan. Namun politik mesti berpihak kepada kebenaran. Tentu masyarakat yang akan memberikan penilaiannya. Politik dianggap kotor oleh karena elit yang bermain dengan cara kotor, sehingga kualitas demokrasi ternodai oleh elit yang bertarung secara tidak fair.
Jika masyarakat mencerna dengan baik, sudah barang tentu segala macam bentuk provokasi menjadi tidak begitu efektif. Namun bagaimana kondisi masyarakat di Belitung saat ini yang masih belum mapan dalam berdemokrasi dan berpolitik. Instrument politik terkadang belum menyentuh bagaimana cara masyarakat melakukan filterisasi dalam menyikapi isu-isu yang mendeskreditkan pihak lain. Sulit mendeteksi dari mana isu-isu tersebut muncul karena ada pihak-pihak yang mencoba menyalakan api dan mereka sendiri yang memadamkannya oleh karena tidak ada pihak lain (dalam harapan mereka) yang memadamkan api itu.
Kampanye yang tidak sehat adalah kampanye yang mengorek masa lalu orang lain, sehingga masyarakat tidak begitu paham apa sebetulnya yang akan mereka perbuat bila terpilih. Kampanye hendaklah dengan menyampaikan sesuatu yang menjadi keunggulan bagi setiap pasangan yang dapat menyakinkan masyarakat untuk memberikan dukungan. melalui kampanye yang demikian telah dengan jelas ingin mengajak orang lain untuk saling membenci. Tentu ini telah mencemari dan merusak moral masyarakat dan pembodohan politik.
Kreatifitas hendaklah dikembangkan dalam strategi kampanye tanpa menyinggung dan menjelekkan pihaik lain. Dengan demikian, masyarakat telah diajak untuk berpikir bagaimana masa depan daerahnya dan apa pula yang akan mereka lakukan untuk mendukung pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah daerah pasca pilkada. Kemenangan tidak mesti ditempuh dengan cara yang licik atau jahat. Kemenangan hendaklah terhormat dan mendapatkan legitimasi yang maksimal dari masyarakat. Dengan demikian pemimpin yang terpilih nantinya dapat menjalankan tugasnya bersama masyarakat untuk mencapai kesejahteraan yang telah dicita-citakan bersama.
Incumbent VS Independent
Pilkada di Belitung kali ini menarik untuk dicermati karena diantara calon-calon yang diusung terdapat 2 pasang calon independent dan 2 pasang calon incumbent yang kedua-duanya menjadi calon Bupati. Pertarungan yang akan terjadi dalam pilkada ini adalah incumbent versus independent. Dari banyak pilkada di tanah air, independent telah banyak yang memenangkan pilkada bila calon incumbent yang bertarung tidak memiliki kemajuan dalam memimpin daerahnya pada periode sebelumnya. Namun bila incumbent telah banyak berbuat nyata dan dirasakan oleh masyarakat maka tidak ada celah bagi independent untuk menjadi pemenang.
Indepanden bisa memenangkan pertarungan politik dalam pilkada bila ia adalah seorang tokoh local lintas generasi dan lintas partai. Ia begitu dihormati dan semua orang mengenalnya dalam waktu yang cukup lama. Bila independent hanya muncul disaat pilkada saja maka, incumbent tak akan mendapatkan simpati di tengah masyarakat. ditambah lagi belum banyak yang diperbuat oleh tokoh tersebut untuk kemajuan masyarakat. masyarakat cenderung ingin tetap melanjutkan kepemimpinan periode sebelumnya bila telah dirasakan kemajuannya. Maka jangan berharap banyak independen akan menjadi pemenang bila ia bukanlah siapa-siapa di daerah yang bersangkutan. Apalagi ia begitu dekat hanya menjelang pilkada saja.tentu masyarakat tidak akan banyak tertarik untuk memilihnya.
Dalam situasi politik sekarang ini, setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin. Namun tidak mudah untuk mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang kita perintahkan. Masyarakat sudah memiliki kemandirian dan hati nurani sendiri dalam menentukan sikap politik. Jangan sampai tergoda oleh bujuk rayu yang belum jelas sumbernya. Masyarakat jangan hanya dijadikan objek politik yang menjadi bulan-bulanan untuk menyerap isu negative yang menjadikan demokrasi menjadi mundur. Akibatnya, dalam pikiran masyarakat akan tertanam virus kebencian, hasutan dan gunjingan yang sudah jelas dilarang oleh agama.
Masyarakat ingin realistis saja dalam mewujudkan cita-citanya. Jangan sampai ada harapan dan angan-angan yang belum jelas untuk didapatkan. Resiko politik akan menimpa masyarakat bila angan-angan itu hanyalah sebuah mimpi yang tak berkesudahan. Pilkada hendaklah menjadi barometer politik yang akan mengukur tingkat kualitas berdemokrasi. Sudahkah kita dewasa dalam bersikap ataukan hanya propaganda yang menyesatkan rakyat banyak. Semoga pilkada kali ini akan menjadi awal kemajuan dalam tatanan politik yang lebih mengedepankan kebersamaan, persaudaraan dan kedamaian.

LASKAR PELANGI DAN REALITAS MASYARAKAT BELITUNG

LASKAR PELANGI DAN REALITAS MASYARAKAT BELITUNG
Oleh : Koko Haryanto, S.IP*

Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Ny. Any Yudhoyono, sejumlah menteri. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung H. Eko Maulana Ali terkagum-kagum seusai menonton film Laskar Pelangi (LP) yang diangkat dari novel laris karya putra Belitung, Andrea Hirata pada hari Kamis (8/10) di Blitz Megaplex Grand Indonesia, Jakarta.(Pos Belitung, 10/10)
Film yang digarap oleh seneas muda Riri Reza dan Mira Lesmana itu dikatakan sebagai puncak kebangkitan perfilman Indonesia. Beberapa waktu lalu, Presiden SBY juga terkagum atas pemutaran Film Naga Bonar 2 dan Ayat-Ayat Cinta (ACC). Di tengah kesibukannya, ia masih meluangkan waktu untuk menyaksikan ketiga film tersebut bersama para menterinya itu. Lalu apa makna dibalik pemutaran film Laskar Pelangi yang sejak pemutaran perdananya sudah hampir ditonton oleh 2 Juta penonton. Adakah terpikirkan oleh para penonton bagaimana kondisi dan realitas kehidupan masyarakat di Belitung pada saat ini? Bagaimana pula reaksi masyarakat Belitung mendengar karya sastra putra daerahnya difilmkan dan berhasil memukau jutaan penonton di tanah air ini?
Kebangkitan Perfilman Indonesia
Tentu tidak ada yang salah bagi para penikmat dan pengemar dunia perfilman saat ini. Agak sulit mendefinisikan istilah ‘kebangkitan dunia perfilman’ bagi masyarakat awam karena masyarakat hanya mengukur dari menarik atau tidaknya sebuah film dan banyak atau tidaknya penonton yang menyaksikan. Memang ketiga film ini telah berhasil ditonton jutaan penonton, tidak seperti pada film-film lainnya yang beredar di bioskop. Apalagi hal itu ditanyakan kepada masyarakat Belitung, kemungkinan mereka hanya mangut-mangut saja, lantaran menyaksikannya saja masih sebuah mimpi. Di daerah ini, tempat pemutaran film saja masih belum tersedia, kalaupun ada pertunjukan film, itu biasa digelar dilapangan terbuka. Daerah yang kaya akan hasil timah ini belum memiliki bioskop seperti di kota-kota besar di tanah air ini.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya sebagai masyarakat Belitung, Cerita yang telah ditulis oleh Andrea Hirata dalam Novel Laskar Pelangi bukan suatu yang fenomenal bagi masyarakat di Belitung. Oleh karena kondisi pada saat itu hampir dirasakan oleh masyarakat yang ada di Pulau Belitung. Keangkuhan sekolah yang diperuntukan bagi anak-anak karyawan PN Timah sudah menjadi rahasia umum. Garis marginalisasi kehidupan masyarakat baik dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan dan politik serta social budaya begitu jelas dirasakan. Hanya saya merasa salut atas kreatifitas Andrea Hirata dalam menuturkannya melalui sebuah novel Tetralogi Laskar Pelangi. Hampir semua sastrawan salut dengan gaya penuturan Andrea dalam LP yang belum ditemukan pada novel-novel lainnya. Apalagi sebelumnya, nama Andrea Hirata belum pernah dikenal oleh sastrawan di tanah air ini sebagai seorang novelis.
Kalau kita mengamati film ini, kita dapat menghubungkannya dengan kontek dan realitas masyarakat Belitung saat ini. Dalam catatan produksi resmi film Laskar Pelangi, Substansi film yang digaraf Riri Reza ini yang berupa keajaiban mimpi, marginalisasi masyarakat dan ironi dunia pendidikan masih terlihat serba tanggung (Kompas, 28/9). Sehingga setiap bagian tidak selalu ditampilkan secara utuh, ada kesan masih terpotong-potong dimana porsi setiap karakter tokoh kurang memadai, khususnya bagi tokoh Ikal sebagai sentral keajaiban mimpi. Begitu juga dengan kegigihan dan perjuangan Lintang yang kurang begitu ditampilkan secara utuh.
Realitas Masyarakat Belitung
Bagaimanakan masyarakat Belitung merespon kehadiran Film ini? Masyarakat daerah sepertinya kurang begitu bersemangat untuk membicarakan fenomena film LP tersebut. Jika orang di kota menggebu-gebu untuk antri berhari-hari untuk mendapatkan tiket, maka masyarakat Belitung sedang dipusingkan dengan anjloknya harga timah yang begitu drastic akibat krisis keuangan ekonomi global. Kini, masyarakat penambang timah tidak bisa mengoperasikan usahanya karena biaya produksi semakin mahal tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Perekonomian masyarakat di Belitung sudah sedemikian lama berketegantungan dengan mineral bijih timah. Sejak PT Timah terancam bangkrut dengan mem-PHK ribuan karyawannya, masyarakat hanya memanfaatkan bekas galian areal pertambangan milik PT Timah untuk mencari bijih timah yang masih tertinggal secara tradisional atau Tambang Inkonvensional (TI).
Sungguh dilematis kondisi masyarakat di Pulau Belitung saat ini, sementara sector usaha lain yang lebih menjanjikan belum tersedia. Kehadiran lapangan kerja baru hanya sebagai keajaiban mimpi, seperti halnya keajaiban di dalam novel Laskar Pelangi. Namun sang penulis bisa berbangga hati karena mimpi itu telah menjadi nyata, tidak seperti ribuan karyawan timah yang menanti keajaiban mimpi kejayaan PT Timah untuk bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di Pulau Belitung. Ditambah lagi penderitaan para mantan karyawan PT Timah (PMKT) yang menunggu uang pesangon akibat PHK beberapa tahun lalu yang tidak kunjung dicairkan.
Sebagai masyarakat Belitung yang menginginkan kemajuan, berharap kehadiran film ini bukan sekadar tontonan bagi masyrakat di Ibu Kota. Masyarakat Belitung menunggu manfaat yang akan dihasilkan dari promosi Pulau Belitung melalui film ini yang sering dihembuskan oleh banyak pihak. Akankah sector wisata di Bumi Laskar Pelangi ini akan semakin membaik. Jangan sampai tontonan ini akan semakin mempertontonkan penderitaan masyarakat Belitung untuk masa yang akan datang. Semoga perubahan akan terwujud secara nyata dan bukan sebuah agenda komersialisme yang kurang memberikan pembelajaran bagi realitas kehidupan dan dunia perfilman saat ini. Meskipun masyarakat belum menyaksikan film ini, semoga untuk film-film yang akan diproduksi di Pulau Belitung nantinya bisa diputar untuk pertama kali di Pulau dimana film itu dibuat. Sehingga masyarakat bisa mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan ‘kebangkitan dunia perfilman’ itu.
Sudah cukup masyarakat di Pulau Belitung dimarginalkan dari perkembangan tehnologi modern saat ini. Pendidikan sebagai inti dari pesan film ini semoga menjadi inspirasi banyak orang, termasuk pemerintah pusat dan daerah untuk bersinergi jangan sampai memperpanjang daftar sekolah yang telah digambarkan dalam film Laskar Pelangi. Focus pemerintah dalam menyelesaikan carut-marut pendidikan semoga dapat terlihat setelah Presiden SBY dan beberapa menterinya menyaksikan film ini. Jangan hanya sekadar kagum saja, namum mari berbuat nyata untuk ‘kebangkitan dunia pendidikan’ di tanah air yang tercinta ini.
*Penulis tinggal di Dsn. Burung mandi, Kab. Belitung Timur, Babel, Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.

MENIMBANG MAKLUMAT GUBERNUR

MENIMBANG MAKLUMAT GUBERNUR
Oleh : Koko Haryanto, S.IP
(Alumni Fakultas Ilmu Politik Universitas Indonesia)

Anjloknya harga timah belakangan ini telah sedikit ‘memaksa’ berbagai pihak untuk menahan diri dalam melakukan penambangan. Baik para pengusaha pertambangan berskala besar maupun pertambangan rakyat serta para pembeli timah semakin kesulitan untuk mendapatkan keuntungan. Dalam kondisi harga timah yang terus tertekan, tentu masyarakat yang bergulat dalam usaha pertambangan tidak ingin masalah tersebut berlarut-larut, pemerintah dituntut untuk mengeluarkan kebijakan yang cepat dan tepat sasaran. Akankah maklumat gubernur menjadi obat mujarab?, untuk mengurangi dampak krisis keuangan global yang membuat harga bijih timah semakin anjlok.
Maklumat Untuk Siapa?
Maklumat yang dikeluarkan Gubernur, Eko Maulana Ali tersebut berisi penghentian sementara kegiatan pertambangan timah kepada perusahaan swasta pemegang KP yang sah sampai waktu tertentu atau hingga harga timah dianggap sudah cukup layak atau menguntungkan (Pos Belitung, 24/10). Tentunya batas waktu yang diberikan dalam maklumat tersebut sangat tergantung dengan harga timah pada masa yang akan datang. Tentunya masyarakat penambang akan menunggu bila itu memang benar-benar diimplementasikan. Tentunya bila maklumat ini berlaku maka konsekuensi hukum seperti apa yang ‘layak’ diberikan. Sebagai pertimbangan, bila masyarakat tetap menambang dengan alasan tidak bisa mencari alternative pekerjaan lain dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bisakah masyarakat diberikan sanksi?
Suatu hal yang kurang bijak bila menyamaratakan pelaku sector perekonomian pada pertambangan timah. Ketika harga bijih timah melambung tinggi, beberapa waktu lalu tentu yang paling diuntungkan adalah para pengusaha timah dan pembeli timah. Sedangkan untuk para pekerja timah yang bekerja untuk orang lain tentu tidak akan memperoleh keuntungan yang cukup besar. Hanya saja, selama ini bila terjadi persoalan pertambangan maka yang banyak disorot adalah para pekerja timah tradisonal yang bekerja di tambang inkonvensional (TI), yang mendapatkan keuntungan yang tidak seberapa hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja. Begitu juga bila ada kerusakan alam, penambang TI-lah yang dipersoalkan.
‘Kreator’ Timah dan aturan yang Instant
Selama ini, para pengusaha atau pembeli timah yang memiliki modal yang besar tidak pernah dipersoalkan bagaimana sebuah harga ditetapkan. Padahal keberadaan mereka tidak bisa dilepaskan dari hasil timah dari TI-TI yang ada di wilayah yang bersangkutan. Para penambang tidak mengerti soal harga naik atau harga sedang turun. Bagi mereka timah yang didapat bisa dibeli dan dijadikan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tentu bukan lagi rahasia umum, bila para pembeli dari berbagai tingkatan menjual dengan harga yang bervariatif berdasarkan ‘kreativitas’ masing masing. Para pembeli ini dapat kita katakana sebagai ‘kreator’ pengumpul timah yang membeli dengan harga yang bervariatif berdasarkan kualitas biji timah.
Aturan mengenai Kuasa Pertambangan menjadi bias di lapangan, pengwasan terhadap pekerja tambang di KP yang bukan miliknya sangat lemah. Kondisi ini juga membuat para penambang tidak mempersoalkan dari KP mana timah didapat dan mesti dijual ke mana. Begitu juga para pembeli tidak mempertanyakan dari KP mana timah diperoleh. Aturan tentang KP menjadi bias di lapangan, jadi wajar akhir-akhir ini PT Timah bersepakat untuk melarang beroperasinya perusahaan penambang lainnya melalui maklumat yang dibuat secara bersama untuk mengantisipasi anjloknya harga timah.
PT Timah juga telah selaras dengan maklumat yang dikeluarkan Gubernur tersebut, bahkan Direktur PT Timah Wachid Usman juga mengajak semua pelaku usaha pertambangan untuk melakukan usaha pertambangan dengan mengikuti system, mekanisme, prosedur dan manajemen tata niaga pertimahan sesungguhnya (Pos Belitung, 24/10). Tentu pernyataan ini telah membuka sedikit ‘rahasia hati’ Direktur PT Timah tersebut, bahwa selama ini telah banyak terjadi mismanagement pelaku usaha pertimahan di Bangka Belitung ini. Tanpa menunjuk siapa pelakunya, paling tidak telah menyentil pihak-pihak pelaku usaha pertimahan yang nakal belakangan ini yang sedang marak. Hingga ia juga mengusulkan agar pelaku usaha pertimahan untuk melakukan penjualan timah langsung ke end user. Memang PT Timah sudah bukan perusahaan pengendali arus perdagangan timah di Bangka Belitung lagi sehingga di sana-sini banyak sekali kebobolan, baik melalui penyeludupan maupun berbagai macam upaya-upaya lainnya yang melanggar hukum. KP-KP milik PT Timah sudah banyak dikelolah oleh pihak-pihak yang bukan mitranya, tentu PT Timah sangat dirugikan.
Sudah semestinya aturan dan regulasi yang dibuat untuk mengantisipasi masalah perimahan di Bangka Belitung tidak instant lagi. Jangan banyak mengeluarkan aturan yang tumpang tindih, belum lagi masalah permendag 19/2007 yang masih menuai masalah, ditambah lagi dengan maklumat yang dikeluarkan oleh Gubernur Bangka Belitung ini. Sepertinya sinergisitas birokrasi di Bangka Belitung dalam menindak segala macam pelanggaran masih belum banyak dilakukan. Arah kebijakan pertimahan di Kabupaten terkadang berlawanan dengan yang disepakati di tingkat Provinsi, tentu ini sangat kurang bijaksana. Bijih timah keluar masuk dari pelabuhan yang satu ke pelabuhan yang lainnya hingga keluar pelabuhan daerah lain. Beberapa waktu, di Tanjung Priok juga ditemukan timah yang akan diekspor keluar negeri dengan label merek dari Surabaya. Tentu ini aneh, karena Surabaya bukanlah daerah penghasil timah.
Dalam hal ini, gubernur juga ingin mengingatkan masyarakat untuk tidak terpasung terhadap sector pertambangan, karena sector perekonomian lainnya seperti pertanian dan perkebunan juga cukup potensial untuk dikembangkan. Namun, melalui maklumat ini paling tidak, Gubernur sebagai orang nomor satu di Bangka Belitung ini, merasa bertanggungjawab untuk mengantisipasi anjloknya harga timah. Ia berani mengambil resiko apapun yang akan membuat dirinya tidak popular dimata masyarakat. namun beginilah pemimpin harus sigap dalam merespon kesulitan rakyatnya. Diam atau tidak mengambil keputusan apa-apa bukanlah hal yang baik untuk dilakukan oleh seorang Gubernur. Hanya saja, maklumat ini harus terukur dan pihak-pihak yang akan kena dampaknya harus diklasifikasi dulu. Jangan sampai rakyat kecil para pekerja TI menjadi korban penertiban yang dipaksakan. Pemerintah daerah juga perlu mendorong pemerintah pusat untuk segera menurunkan harga minyak yang akhir-akhir ini pasaran dunia sudah jauh menurun harganya dan sudah di bawah asumsi APBN. Tentu jika harga minyak tidak terlalu mahal, pekerja tambang juga akan kena dampak positifnya, dimana biaya produksi semakin berkurang. Sehingga keuntungan yang akan didapat akan semakin membaik walupun harga timah tidak begitu tinggi.

PERMENDAG 19/2007 YANG SALAH SASARAN

PERMENDAG 19/2007 YANG SALAH SASARAN
Oleh : Koko Haryanto, S.IP*
(Alumni Fakultas Ilmu Politik Universitas Indonesia)

Akhir-akhir ini, masyarakat dan Pemerintah Babel menuai masalah yang serius oleh aturan yang ditandatangani oleh Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, yang membolehkan penjualan bijih timah antar pulau melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 19 Tahun 2007 yang ditandatangani 30 April 2007. Aturan Permendag ini dikeluarkan setelah sebelumnya diberlakukan larangan ekspor untuk komoditi ini.
Pemerintah Provinsi Babel bersama Pansus 5 DPRD sudah sepakat untuk menggugat pemerintah pusat agar keputusan tersebut yang mengatur perdagangan timah antar pulau segera dicabut (Pos Belitung, 11/10). Komitmen pemerintah provinsi sebetulnya sudah beberapa bulan yang lalu sejak peraturan ini diberlakukan untuk ditinjau ulang. Akan tetapi dalam tahap peninjauan ulang tersebut, perdagangan timah antar pulau sudah beberapa kali terjadi, seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Belitung Timur beberapa bulan yang lalu. Namun belum ada nada protes dari wakil rakyat di Kabupaten yang baru saja dimekarkan ini.
Wajar saja bila pemerintah provinsi dan DPRD provinsi tidak sepakat akan pemberlakukan peraturan tersebut, oleh karena aturan ini lebih banyak ruginya daripada keuntungannya yang didapat oleh masyarakat daerah. Menyangkut persoalan royalti dari perdagangan ini juga tidak jelas, karena royalti bagi daerah hanya diperoleh dari penjualan biji timah dalam bentuk batangan. Belum lagi soal kerusakan lingkungan yang diderita oleh daerah karena banyak perusahaan diluar daerah yang memaksakan diri untuk memiliki kuasa pertambangan (KP) sebagai prasyarat untuk terjadinya perdagangan pasir timah antar pulau.
Resistensi atas Permendag 19/2007
Resistensi paling besar muncul dari pelaku industri pemurnian bijih timah di daerah, karena pasokan smelter (peleburan timah) mereka menjadi berkurang. Berkurangnya pasokan pasir timah ke smelter memunculkan kerugian menurunnya pendapatan dan sekaligus akan berimplikasi kepada tenaga kerja yang diperkerjakan. Sejak pemberlakukan aturan ini, tercatat sudah puluhan smelter tidak beroperasi dan pengangguran semakin meningkat. Tentu hal ini menjadi persoalan baru bagi daerah yang tidak terpikirkan oleh pemerintah pusat sebelumnya. Aturan yang sarat kepentingan bisnis tanpa melihat kondisi daerah akan semakin menyulitkan pemerintah daerah untuk mengatur cadangan pasir timah demi untuk kesejahteraan rakyat.
Memang pada dasarnya, ada pihak-pihak yang akan diuntungkan atas pemberlakukan aturan itu. Terutama kalangan pengusaha yang bermodal untuk menjual bijih timah dengan keuntungan yang cukup besar. Namun kondisi ini juga memicu kembali upaya penyeludupan yang masih marak terjadi di perairan Bangka Belitung. Bagi aparat penegak hukum, adanya legalitas atas penjualan pasir timah antar pulau telah menyulitkan upaya pengawasan karena semakin banyak pihak-pihak yang bermain mata. Bisa saja perdagangan itu terjadi dengan surat menyurat yang fiktif dan dipalsukan, tentu ini sangat bermasalah.
Seperti halnya yang telah terjadi di Kabupaten Beltim dengan melakukan perdangan pasir timah sebuah perusahaan di Surabaya dengan surat-menyurat dari pemerintah daerah melalui perizinan yang telah ditetapkan di dalam Permendag tersebut. Padahal pemberlakukan aturan ini masih dalam tahap peninjauan hukum (PH) atas permendag tersebut. Sangat disayangkan bila seorang pejabat Dinas Perdagangan Kabupaten sebagai penanggung jawab di tingkat Kabupaten berdasarkan Permendag 19/2007 pasal 1 butir 14 memberikan legalitas kepada perusahaan tersebut tanpa mempertimbangkan secara matang dan menunggu analisa yang tepat. Apalagi Gubernur Bangka Belitung, Ir. H. Eko Maulana Ali, M.Sc sedang menunggu peninjauan hukum atas peraturan menteri perdangangan tersebut. Begitu juga dengan anggota dewan Provinsi Babel yang menginginkan aturan itu ditinjau ulang. Tentunya, seorang kepala daerah di Kabupaten yang bersangkutan memiliki kekuasaan untuk tidak menjalankan aturan itu bila masih bermasalah, karena kepala daerah adalah wakil pemerintah pusat yang memiliki kewenangan mengatur daerahnya.
Perlu Peninjauan Hukum
Di Indonesia, peninjauan terhadap peraturan-peraturan di bawah undang-undang tidak menjadi masalah (Pasal 26, UU No 14/1970, artinya MA boleh melakukannya. Hal ini menarik, karena kegiatan Mahkamah untuk melakukan peninjauan seperti itu, memiliki makna yang sangat penting. Dalam undang-undang tersebut, MA dapat menyatakan peraturan yang tingkatnya di bawah undang-undang sebagai tidak sah. Dengan demikian keberadaan Permendag 19/2007 dapat dicabut dan dibatalkan demi hukum. Menurut hemat saya, pemerintah pusat jangan mengatur soal perdagangan bijih timah antar pulau tersebut. Cukuplah pengaturan itu diserahkan ke daerah yang bersangkutan. Pemerintah pusat sudah cukup dengan mengeluarkan Permendag 04/2007 tentang Ekspor Timah Batangan.
Apalagi dalam implementasinya terdapat berbagai macam resistensi dan kerugian bagi perekonomian daerah. Pemerintah pusat tidak dibenarkan untuk memaksakan sebuah aturan, Negara ini berjalan dengan sistem desentralisasi bukan sentralisasi seperti dulu lagi. Kalau ini yang terjadi maka, makna otonomi daerah sudah tidak berarti lagi. Memberlakukan Permendag ini sama artinya dengan menjerumuskan perekonomian daerah, sementara selama ini daerah ini masih ketergantungan dengan SDA yang berupa bijih timah. Ada baiknya pemerintah memikirkan bagaimana membangun industri pengelolaan bijih timah di daerah ini yang bertaraf global.
Kita biasa menganggap remeh atau merendahkan jenis peninjauan yang demikian itu. Yaitu, terhadap peraturan rendahan. Orang menganggap, bahwa Peninjauan Hukum (PH) yang sebenernya adalah yang ditujukan terhadap undang-undang. Kita bisa mengerti pandangan itu, mengingat betapa besar pengaruh suatu undang-undang dibandingkan dengan peraturan yang lain yang lebih rendah. Tetapi, hanya terpaku pada PH jenis tersebut adalah suatu kesalahan yang tidak kecil. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh membiarkan masalah Permendag ini berlarut-larut. Tanpa melakukan analisa yang mendalam maka munculnya Permendag ini telah salah sasaran dan harus dikembalikan kepusat untuk dicabut.